Mengatasi Krisis Air Bersih: Peran Pemerintah dan Masyarakat
Krisis air bersih merupakan masalah serius yang sedang dihadapi oleh banyak negara, termasuk Indonesia. Tanpa adanya akses yang memadai terhadap air bersih, masyarakat rentan terhadap berbagai penyakit dan dampak negatif lainnya. Oleh karena itu, diperlukan upaya bersama dari pemerintah dan masyarakat untuk mengatasi krisis ini.
Peran pemerintah dalam mengatasi krisis air bersih sangatlah penting. Menurut Prof. Dr. Emil Salim, seorang pakar lingkungan hidup, pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menyediakan infrastruktur yang memadai untuk pengelolaan sumber air bersih. “Pemerintah perlu melakukan investasi yang cukup besar dalam pengembangan sistem distribusi air bersih dan pengelolaan sumber air,” ujarnya.
Selain itu, pemerintah juga perlu mengawasi dan mengontrol pengelolaan sumber air bersih agar tidak terjadi eksploitasi berlebihan yang dapat merusak lingkungan. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sekitar 40% sungai di Indonesia mengalami pencemaran akibat limbah industri dan domestik.
Namun, peran masyarakat juga tidak kalah penting dalam mengatasi krisis air bersih. Masyarakat perlu meningkatkan kesadaran akan pentingnya menjaga kebersihan sumber air dan mengurangi pemborosan air. Menurut Dr. Ir. Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB, “Masyarakat perlu dilibatkan dalam pengelolaan sumber air bersih agar dapat tercipta keberlanjutan dalam penggunaan air bersih.”
Selain itu, masyarakat juga perlu mendukung kebijakan pemerintah dalam pengelolaan sumber air bersih. Menurut Dr. Eng. H. Basuki Hadimoeljono, M.Sc., M.Eng., M.ASCE, M.Eng.Sc., M.Sc, M.Sc., M.Sc., M.Sc., M.Sc., M.Sc., M.Sc., M.Sc., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng., M.Eng